Biografi

Mahbub Djunaidi
Membaca goresan pena Mahbub Djunaidi kita akan dibuat melayang. Membaca menjadi aktivitas yang amat menyenangkan. Paragraf demi paragraf dilahap dalam waktu singkat. Membuat kita ingin lagi dan lagi meski pembaca sudah mencapai tanda titik dari kalimat terakhir. Tidak perlu berpendidikan tinggi, juga tidak perlu repot membuka berbagai kamus ilmiah populer atau non-populer sekalipun jika ada. Hanya membutuhkan sedikit kecerdasan dan menjaga otot pipi agar jangan putus mendadak akibat tingginya frekuensi tawa.
Mahbub menyebut gaya tulisannya sebagai jurnalistik sastra. Menulis tidak ubahnya seperti berbicara. Renyah dan yang terpenting membuat pembaca mengerti, bukan mengernyitkan dahi. Menangkap realitas di sekitarnya, dari dalam rumah tangga hingga istana. Meramunya bak seorang chef handal yang masakannya bisa diterima lidah berbagai kalangan. Termasuk lidah orang yang menjadi objek kritiknya.
Bagi orang-orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengannya, besar kemungkinan mengenal Mahbub dari tulisannya yang berserak di berbagai surat kabar dan majalah. Belum lagi sederet buku dan novel karyanya. Ia memang aktivis dan jurnalis, tapi kebanyakan orang awam mengenalnya sebagai kolomnis legendaris. “Tulisannya menjadi trendsetter itu waktu. Dia mempengaruhi public opinion,” kata sohib karibnya Ridwan Saidi tempo hari.
Sekedar memastikan, tulisan ini tidak akan menyorot lebih dalam gaya penulisan Mahbub, orientasi, pikiran, dan substansi tulisannya. Cukup beberapa paragraf di awal. Jadi bisa dipastikan tulisan ini bukan untuk bersaing dengan mereka yang telah meneliti dan beropini mengenai gaya penulisan Mahbub baik lewat tulisan lepas, skripsi, hingga tesis. Sekedar usaha menggambarkan sifat manusiawi dari seorang Mahbub yang kebetulan penulis ketahui dari cerita, baik melalui wawancara santai maupun obrolan ringan.
Watak Pendekar
Konon, berdasar perumpamaan umum pihak keluarga, antara Mahbub dengan sang ayah, KH. Djunaidi, bak langit dan bumi. KH. Djunaidi rapih dan tertib. Perilaku ini tidak sepenuhnya bisa diwarisi. Ia lebih mirip kakeknya yang merupakan jawara di Tanahabang. Hidup tidak teratur seperti manusia kebanyakan dan lebih suka bergerombol dengan teman-temannya di luar rumah. Namun untuk urusan kemauan belajar tentu tidak bisa lepas dari sentuhan sang ayah di masa kecil.
Dalam sosiologi pengetahuan, karakter Mahbub bisa dijejak dari lingkungan di mana ia tumbuh. Sang ayah, meskipun memiliki kesempatan untuk tetap berada di Batavia dan bekerja bagi pemerintahan kolonial, memilih hidup sebagai pengungsi di Solo karena setia pada Republik. Setelah Belanda menguasai Yogyakarta dan menangkap Bung Karno dan Hatta, keluarganya kembali ke Batavia. Ayahnya bersusah payah membuka tempat kursus menyetir bermodal mobil butut daripada bekerja bagi Belanda. Setelah kekuasaan Republik dipulihkan lewat Konferensi Meja Bundar, ia kembali menempati posisinya sebagai Kepala Pengadilan Tinggi agama Islam di Kementerian Agama. Ia ditanamkan laku untuk tidak mudah menukar prinsip hidup. Tidak perlu mengemis meski beras di rumah semakin menipis.
Satu waktu, Mahbub pernah mengadakan pemberontakan kecil pada ayahnya di pengungsian. Sebabnya ia tidak suka naik kelas IV di Madrasah Mamba’ul Ulum. Ia menilai dirinya seharusnya tidak naik kelas mengingat dirinya cukup kesulitan belajar karena bahasa Jawa yang digunakan sebagai pengantar ketika duduk di kelas III. Dalam benaknya, itu terjadi karena persekongkolan antara ayah dan gurunya, KH. Dimyati. Segera ia memilih bolos dengan bermain bola dan layangan. Pemberontakan ini padam setelah ayahnya memberikan beberapa opsi laksana seorang demokrat tulen meski yang dihadapinya seorang anak kecil. Mahbub memilih langsung diasuh oleh ayahnya, tetap enggan masuk madrasah. Belakangan cara ini terbukti jitu, Mahbub berhasil menyelesaikan ujian menjelang kenaikan kelas dengan nilai baik.
Kesukaannya bergumul dengan siapapun merupakan bakat alaminya. Ia menonjol di antara teman-temannya sejak kecil. “Ia nampak cerdas, banyak akal, banyak inisiatif, ramah, dan lincah. Dia selalu leading di antara teman-temannya. Berpikir dan bekerja, itulah Mahbub.” ujar Chalid Mawardi yang menjadi teman masa kecilnya. Kesukaannya berkumpul ia salurkan dengan aktif berorganisasi semenjak duduk di bangku SMP. Saat kuliah, karir berorganisasinya melejit hingga menduduki Ketua Departemen Pendidikan PB HMI dan kemudian menjadi Ketua Umum PP PMII pertama.
Menginjak usia 27 tahun, Mahbub masuk ruang sidang DPR/MPR sebagai anggota parlemen termuda mewakili Partai NU. Bersama kawan-kawannya ia gigih memperjuangkan UU Pokok Pers. Wajar mengingat ia berlatar jurnalis dan saat yang bersamaan menempati jabatan sebagai Pimred harian Duta Masjarakat. Selain soal fungsi membuat regulasi dan kontrol terhadap pemerintah, ia juga kritik usulan teman-temannya di DPR yang menginginkan rapat di hotel. “Kalau mau rapat harus di gedung DPR, kalau tidak puas dengan fasilitas di gedung DPR, memang adanya cuma segitu,” sergah Mahbub.
Kepiawaiannya menulis membuat Bung Karno tertarik. Mahbub segera menjadi teman diskusi yang menyenangkan bagi Bung Karno. Hampir tiap hari dia diajak Bung Karno minum teh di teras belakang Istana. Dasar Mahbub, ia tetap berani mengkritik secara langsung seorang Presiden yang kala itu mendapat gelar ‘Paduka Jang Mulia’. Bahkan ia tak segan menulis kritiknya melalui media massa. Meski sangat dekat, Mahbub tidak mau memanfaatkan Bung Karno untuk mendapat keuntungan personal.
Di era Orde Baru, ia termasuk golongan segelintir orang yang rajin mengkritik pemerintahan yang dibangun dari ketakutan dan pemaksaan. Rezim sadar, tulisan dan orasi kritis Mahbub adalah ancaman bagi jargon ‘stabilitas nasional demi pembangunan’. Ia mendapat ganjaran satu tahun penjara tanpa pengadilan. Janji jabatan dan harta agar dirinya melunak ditampiknya. Ia malah tidak jera dan terus kritis, terutama melalui tulisan.
Ketika diwawancara oleh Karni Ilyas, wartawan Tempo saat itu, apa rencananya setelah dibebaskan, ia menjawab, “Menulis. Saya ini tukang jual tulisan. Selama masih ada yang mau membeli saya akan tetap menjual.”
Tulisannya yang menyentuh dan satire punya basis pembaca yang luas. “Sebetulnya pesan apa yang ingin disampaikan Mahbub dari seluruh tulisannya?” tanya penulis pada Ridwan Saidi. “Ia menyampaikan pesan moral. Jadi orang yang benar. Jadi pemimpin yang benar. Ia menjalankan prinsip Betawi. Orang-orang tua Betawi dulu mengatakan lu hidup yang lurus-lurus ajalah. Itulah yang diamalkan dalam tulisannya, meskipun mungkin dia gak ngeh” pungkasnya.
Pribadi yang Peduli
Ahmad Bagdja, mantan Ketua Umum PB PMII dan Sekjend PBNU, berujar jika menggunakan satu kata untuk menjelaskan Mahbub ia memilih kata ‘peduli’. Saat penulis bertanya tentang Mahbub, sorot mata sahabat Bagdja tajam dan sedikit berkaca-kaca. Mahbub di matanya orang yang memiliki kepedulian tinggi meski hanya diminta tolong untuk hadir di acara setingkat komisariat, jenjang terendah di PMII masa itu, dan pergi meninggalkan keluarganya. Dia tidak peduli berapapun jumlah kader PMII yang hadir, meskipun empat orang dia akan berbicara layaknya narasumber seminar yang dihadiri oleh ratusan orang. “Inilah yang saya tidak bisa tiru dari Mahbub,” ujarnya.
Tatkala menjadi tahanan politik di RSPAD, Mahbub sering dikunjungi oleh saudara dan teman-temannya. Suatu ketika, Andi Sahrandi, saudara dari pihak istri, diminta sejumlah uang oleh Mahbub. Ia bertanya, “Untuk apa uangnya Kak Abo (panggilan akrab Mahbub)?” Mahbub segera meresponnya, “Ada teman yang lagi butuh uang.” Di penjara sekalipun ia masih mau memikirkan kesulitan temannya yang berada di luar.
Kepedulian Mahbub banyak diceritakan oleh teman-temannya dalam buku biografi Mahbub Djunaidi; Seniman Politik dari Kalangan NU Modern. Tidak pandang bulu apakah temannya itu punya perbedaan ideologi atau bahkan pernah menjadi lawan politik. Tidak peduli juga apakah dia aktivis atau hanya orang biasa. Ia akan membantu dan mengajaknya bicara. “Masalah yang menyangkut hal-hal kemanusiaan, opennya dia, saya kira gak ada duanya,” tutur Ridwan Saidi. Teladan dari keberanian bersikap kritis serta solidaritas terhadap sesama inilah yang coba diangkat penulis dalam film dokumenter Mahbub Djunaidi.
Rasa memiliki terhadap teman dan organisasi memang membuat Mahbub, bagi sebagian saudara dan temannya, terkesan sedikit mengabaikan keluarganya. Andi Sahrandi pernah mendapat telepon dari istrinya di Bandung, istrinya menitipkan pesan untuk disampaikan ke Mahbub yang sedang berada di Jakarta bahwa beras di rumahnya sudah habis. Pun demikian kesaksian lain dari Fadlan Djunaidi, adik Mahbub, yang mengatakan juga pernah di telepon istrinya dalam kondisi menangis karena uang yang dibawa Mahbub untuk memenuhi kebutuhan keluarganya justru digunakan untuk teman-temannya.
Pengorbanan istri dan anak-anak Mahbub tidaklah kecil. Namun, mereka pada akhirnya mahfum bahwa Mahbub adalah milik orang banyak. Di akhir tulisan yang berjudul ‘Mahbub Djunaidi, Sastrawan yang Gelisah’ Jakob Oetama menulis, “Saya ikut bahagia karena keluarga dan anak-anak Mahbub itu lumayan, mereka pada jadi ‘orang’.”
Penulis: Dwi Winarno